Mengajar Anak Beribadah Dengan Gamification
- OpiniPendidikan
- December 27, 2015
- 517
- 3 minutes read
Sekarang ini sering sekali terdengar istilah gamification, sebuah proses mengimplementasikan game design atau peraturan-peraturan dalam game ke dalam kehidupan sehari-sehari. Gamification muncul dalam berbagai macam jenis, tapi biasanya gamification berkisar tentang melakukan sebuah tugas dan memberikan reward atas tugas yang berhasil dilakukan. Meskipun belakangan ini semakin sering mendengar istilah itu, tanpa saya sadari sebetulnya saya sudah terekspos dengan gamification ini sedari saya duduk di Sekolah Dasar.
Berlomba-Lomba dengan Gamification
Saya menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar saya di sebuah sekolah swasta dengan ajaran agama yang cukup kuat. Sebagai contoh untuk yang beragama Islam, setiap bulan Ramadan, pihak sekolah akan membagikan sebuah buku kecil. Buku kecil tersebut berisi tabel daftar aktivitas beribadah pelajar.
Salah satu tabel berisi daftar hafalan surat dan doa yang mengharuskan pelajar menghafalkan apa yang terdaftar dalam tabel dan membacanya di depan guru atau staf. Setelah itu guru atau staf akan menentukan apakah pelajar pantas memperoleh tanda tangan mereka. Sepertinya simpel, tapi pada kenyataannya ini adalah metode pembelajaran yang luar biasa efektif dan menjadi sangat menarik. Para pelajar berlomba-berlomba untuk melengkapi tabel mereka dengan tanda tangan guru sembari membanggakannya, layaknya gamer yang berlomba-lomba menyelesaikan tantangan atau quest dalam game demi melengkapi achievements.
Tabel lainnya tidak kalah menarik. Pelajar diharuskan untuk mengikuti kegiatan salat tarawih, dan setelah selesai para pelajar harus meminta tanda tangan dari penceramah hari itu. Tidak jauh berbeda dengan contoh sebelumnya, tabel ini juga betul-betul efektif untuk membiasakan pelajar untuk tidak meninggalkan ibadah.
Semua kegiatan yang saya sebutkan di atas sebenarnya sangat mudah untuk diimplementasikan ke hal lain, misalkan saja diimplementasikan untuk hafalan pengetahuan umum dan sejarah. Saya yakin jika pendekatan edukasi dapat dilakukan dengan cara-cara menantang dan menyenangkan seperti ini, baik guru maupun orang tua mungkin tidak akan terlalu kesulitan untuk mendorong anaknya belajar. Apakah kamu juga punya pengalaman seperti ini? Kalau ada, langsung share saja, jangan malu-malu.
Sumber: Segitiga.net