Jumanji Tak Lagi Tampilkan Board game di Filmnya – [Bermain Cerita]
- HeadlineOpini
- June 24, 2019
- 330
- 6 minutes read
Trailer film “Jumanji: Welcome to The Jungle” sudah resmi dirilis. Film itu tak lagi menampilkan board game sebagai pusat ceritanya. Meski keputusan menghilangkan board game itu bukan lagi kejutan, namun sedikit banyak saya merasa ada sesuatu yang ‘hilang’.
Oke, sebelum saya melanjutkan, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini bukan penilaian atas baik atau tidaknya film tersebut. Saya yakin dengan Dwayne ‘The Rock” Johnson dan Jack Black setidaknya film itu bakalan bisa menghibur. Dan, terus terang, saya juga seorang yang menyukai video game kok.
Nostalgia Board game Jumanji
Meski demikian, saya tetap merasakan ada sesuatu yang hilang dari film Jumanji terbaru ini. Sedikit banyak rasa kehilagan itu adalah sebab nostalgia saya pada film Jumanji yang pertama.
Jumanji mungkin adalah film pertama yang pernah saya tonton yang menampilkan board game sebagai bagian inti dari jalannya cerita. Dan ini bukan hal kecil buat saya. Sebagai seorang yang sejak kecil sangat menyukai board game dan permainan atas meja lainnya (ya, bahkan Monopoli pun saya suka), Jumanji bagaikan sebuah perwujudan dari perasaan seru yang muncul dari bermain board game.
Beberapa hal seperti komponen yang unik (pion berbentuk gajah dan badak) serta imajinasi yang seakan tanpa batas dari board game Jumanji di dalam film itu membuat saya seratus persen terpesona. Meskipun board game Jumanji dalam film itu bukan game sungguhan, dan semata-mata plot device yang mendorong jalannya cerita, saya tetap merasakan keseruannya. Harapan saya, orang lain yang menonton Jumanji juga akan terpesona dan menjadi penasaran dengan board game.
Butuh hampir dua puluh tahun, sejak film Jumanji di tahun 1995, hingga masa keemasan board game saat ini. Sekarang sudah cukup banyak penggemar board game dan permainan atas meja lainnya. Bahkan perlahan-lahan sudah menjadi bagian dari kultur arus utama alias mainstream.
Bukan Board Game, Tapi Video Game
Maka ketika pertama mendengar kabar Jumanji dibuat lagi, dengan dibintangi The Rock, saya cukup tertarik. Tapi, ketika trailer resminya muncul, harus diakui saya sedikit kecewa.
Dalam trailernya, ditunjukkan adegan ketika empat tokoh remaja dihukum membersihkan gudang sekolahnya. Mereka menemukan konsol game jadul dan, sesuai permintaan skenario, mulai memainkannya.
Walhasil keempat perwakilan stereotipe film remaja AS itu pun dicemplungkan ke dalam dunia game. Mereka berubah wujud menjadi The Rock, Jack Black, Kevin Hart dan Karen Gillian.
Melihat adegan itu saya terbelah. Di satu sisi, saya sangat menyayangkan tidak adanya board game Jumanji (atau mungkin di dalam filmnya akan muncul?). Di sisi lain, mereka tampaknya bakal banyak bermain dengan klise dan stereotipe game retro, dan itu harus diakui terdengar cukup menjanjikan.
Jaman Keemasan Board game
Keputusan menggunakan video game mungkin adalah keputusan komersial. Mungkin para pembuat film itu ingin menarik perhatian penonton bioskop masa kini yang gadget friendly dan senang dan akrab dengan video game. Tapi, di sisi lain, dunia tabletop gaming sedang memasuki masa jaya, mulai dari board game hingga Role Playing Games pun seperti menemukan jalan menjadi bagian dari arus utama budaya pop dunia.
Masa keemasan yang dimaksud bukan seperti yang ditampilkan Margaret Hofer dalam buku “The Games We Played: The Golden Age of Board & Table Games” (Princeton Architectural Press, 2003) yang lebih banyak menampilkan permainan masa lalu yang mungkin menjadi eyang-nya board game masa kini.
Masa keemasan yang saya maksud adalah yang sedang kita nikmati saat ini. Gejala akan masa keemasan ini pada awalnya mulai diperhatikan oleh Quintin Smith dari Shut Up and Sit Down pada 2012. Soal ini kemudian sudah berkali-kali disampaikan di berbagai media arus utama, mulai dari The Guardian, Vice hingga Time.
Belum lama ini, Bells of Lost Souls bahkan mencatat makin luasnya liputan mengenai board game di media arus utama. Mulai dari fitur tentang hubungan board game dan H.P Lovecraft (pengarang di balik mitologi Cthulhu) di RRI-nya AS hingga fitur di majalah periklanan AdWeek tentang penggemar board game sebagai pasar yang patut diperhatikan.
Mungkin saya memang terjebak nostalgia. Tapi, dengan berbagai gejala-gejala masa-masa keemasan board game ini, sayang sekali bahwa “Jumanji: Welcome to The Jungle” tampak kurang memanfaatkannya.
Tentunya, lagi-lagi saya ingatkan, ini bukan penilaian atas bagus atau tidaknya film tersebut. Saya justru penasaran, bagaimana di kisah yang terbaru ini video gamenya akan dihubungkan dengan board game di kisah yang pertama. Apalagi, konon akan ada clue yang ditinggalkan tokoh Alan Parish (Robin Williams di film aslinya) di hutan Jumanji. Jujur, meski board game bukan lagi titik pusat ceritanya, saya sih tetap tertarik nonton filmnya.
Saya Wicak Hidayat, ini adalah satu lagi tulisan dari seri “Bermain Cerita” di Boardgame.id, sebuah seri yang membahas soal hubungan antara board game dengan narasi atau storytelling. Jika ada masukan soal topik ini, atau sekadar ingin berdiskusi, saya bisa dicolek lewat akun Instagram @wicakhidayat.