Board Game Talk #2: Memaksimalkan Potensi Board Game dengan Teknologi

Board Game Talk #2: Memaksimalkan Potensi Board Game dengan Teknologi

Kita tahu, board game menyimpan banyak manfaat. Bisa melatih penggunanya untuk berpikir kritis, memicu para pemainnya untuk saling berinteraksi dan berkominikasi. Itu baru berasal satu media permainan konvensional yang berbentuk analog atau fisik. Bagaimana jika permainan konvensional seperti board game dipadukan dengan teknologi? Pastinya makin banyak potensi baik yang bisa diciptakan.

Inilah yang dilakukan oleh Takashi Hamada menjadi seorang perancang board game. Ia mencoba merancang board game dengan mengimbuhkan teknologi atau aplikasi digital.

BGT #2 di Solo

Pria berkewarganegaraan Jepang ini beberapa waktu lalu berkunjung ke Indonesia dan berkesempatan untuk berbagi cerita serta pengalamannya merancang board game. Jadilah, Asosiasi Pegiat Industri Board Game Indonesia (APIBGI) bersama dengan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) memfasilitasi sesi sharing tersebut dengan dilaksanakannya Board Game Talk #2 di dua kota: Solo dan Bandung.

Baca juga: Board Game Talk #1 : Jangan Malu Merancang Board Game dengan Konten Lokal, Asalkan…

Hamada-san bercerita akan kerisauannya dengan game yang tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan. Orang-orang yang berkebutuhan khusus mungkin sulit menikmati game. Hal inilah yang mendorong pria yang tinggal di Tokyo ini untuk merancang game yang bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Salah satu karyanya hanya mengandalkan indra pendengan untuk dimainkan. Pemain akan dihadapkan 9 gentong kecil yang disusun 3×3. Tugas pemain cukup mengambil gentong, mengocoknya agar menghasilkan suara. Tujuannya pemain perlu membuat satu garis gentong baik ortogonal maupun diagonal dengan suara yang sama. Alhasil, game berjudul The Arabian Pots bisa dimainkan oleh mereka yang tuna netra.

Begitu juga dengan The Mystery of Dattakamo (2015), game ini juga ditujukan untuk pemain yang penglihatannya terbatas. Hanya saja game ini lebih memanfaatkan indra peraba.

Selanjutnya Ia juga berbagi cerita saat mengeksploitasi kelemahan dari teknologi VR (Virtual Reality) untuk pengembangan board game. Satu kelemahan VR yang utama ialah satu perangkat hanya bisa dipakai oleh satu orang saja.

Berangkat dari sana, Hamada-san melihat ada potensi merancang board game berperangkat VR. i mana satu pemain akan menggunakan VR dan pemain lainnya bekerja sama untuk mencari jalan keluar berdasarkan arahan pengguna VR. Mask of Anubis (2016) dan Mask of Moai (2017) adalah contoh karya sukses dari Hamada-san yang memanfaatkan teknologi ini.

Ia juga mengenalkan Morse Karuta, sebuah permainan kartu yang memanfaatkan gadget untuk membuat kode morse. Pemain diminta untuk berebut mengambil kartu yang didikte oleh kode morse. Kode morse tersebut dihasilkan lewat suara dari sebuah aplikasi digital.

Suasana BGT #2 di Bandung

Ya! Hamada-san memang mengaku senang bereksperimen dengan teknologi ntuk menciptakan board game terbaik. Bahkan Ia sendiri bilang kalau pasar board game masih belum sebesar pasar aplikasi dan game digital. Oleh karena itu pula, hampir semua karyanya dipadukan dengan teknologi.

“Membuat game memang lebih mudah dalam bentuk card game atau board game. Namun teknologilah yang membuat saya untung. Uang datang dari teknologi. Hahaha. Itulah mengapa saya memadukan board game dengan teknologi.” Ujar Hamada-san mengungkapkan pengalamannya.

Konon, pria yang juga pernah magang secara intensif di Nintendo akan membuat board game yang akan memanfaatkan Nintendo Switch lho. “Getaran yang dihasilkan oleh controller Nintendo Switch cukup kuat. Saya sedang mencoba menguliknya untuk menciptakan board game baru untuk mereka yang tuna netra.” jelas Hamada-san.

Board game + teknologi
Menjajal Morse Karuta

Setelah sesi bincang-bincang dan tanya jawab, para peserta Board Game Talk #2 dipersilakan menjajal board game rancangan Takashi Hamada yang sudah disebutkan di atas.

You may also like