#NgobrolGame: Bermain Bersama Bisa Hindarkan Kita dari Bahaya Depresi
- HeadlineNgobrol GameOpini
- June 26, 2018
- 301
- 6 minutes read
Belakangan ini berbagai media memberitakan kasus bunuh diri Kate Spade dan Anthony Bourdain. Bahkan tahun-tahun sebelumnya artis-artis kenamaan juga memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka. Depresi diduga menjadi menjadi faktor pemicu utama. Depresi bisa mengancam siapa saja.
Tahun 2003, Eko Nugroho (founder Kummara Game Design Studio) memutuskan berhenti dari pekerjaan untuk melanjutkan kuliah di salah kampus di Jerman. Hampir tanpa persiapan dan hanya berbekal tabungan seadanya ia berangkat penuh keyakinan bisa mendapatkan pekerjaan sampingan untuk mendukung kehidupannya di sana.
Beberapa bulan berlalu, tabungan hampir tidak bersisa dan pekerjaan sampingan tidak semudah yang Eko bayangkan. Merasa gagal, frustasi, menyesali banyak hal jadi santapan setiap hari. Saat itu ia tidak tahu apa itu depresi. Pastinya, berat badan menurun, insomnia, dan ia tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun.
Hingga suatu ketika seorang teman mengundang Eko ikut makan malam bersama keluarganya yang kebetulan sedang berkunjung. Selesai makan, ayahnya membuka sebuah kotak besar (waktu itu tidak tahu, yang ternyata adalah sebuah board game berjudul Catan). Ia kemudian menjelaskan peraturannya dengan bahasa Jerman yang sedikitpun tidak dimengerti.
Dengan pemahaman seadanya, didukung bahasa tubuh sebisanya, Eko tetap ikut bermain bersama. Hampir 2 jam mereka bermain bersama, bertukar sapa dalam bahasa yang beda, dan berbagi gembira. Tanpa disangka Eko berhasil menang dan semua bergantian memeluknya. Bahkan saya masih ingat ketika sang Ayah menepuk pundak Eko sambil berkata “Gutes spiel!” (permainan yang bagus). Saat itu ia kembali merasakan bangga dan bahagia.
Hari itu mengubah pandangan Eko terhadap game sepenuhnya. Ia melihat melihat sebuah media yang mampu mendekatkan mereka yang bahkan tidak bicara dalam bahasa yang sama. Satu media yang membuat sebuah keluarga (asing) bersedia memeluknya. Satu media yang membantunya menemukan kembali semangat, bangga, dan bahagia.
Sejak hari itu, bagi Eko banyak hal menjadi lebih baik dan ia percaya sepenuhnya bahwa game bisa menjadi sebuah media yang mampu hadirkan banyak perubahan baik. Hari itu juga ia berjanji untuk selalu coba hadirkan game terbaik sebisanya.
Pada bulan September nanti, bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung, Institute of Mental Health Singapore, University of New South Wales Australia, dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui dana hibah Australia Global Alumni, Kummara akan melakukan pilot program sebuah implementasi pembelajaran berbasis game untuk meminimalisir stigma dan membangun pemahaman terkait depresi di kalangan siswa SMA dan Mahasiswa.
Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 lalu menunjukkan bahwa ada sekitar 6% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas, atau sekitar 14 juta orang, yang mengalami gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan.
Tahun 2017 lalu World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa depresi menjadi penyebab utama masalah kesehatan dan ketidakmampuan di seluruh dunia. Diperkirakan ada sekitar 300 juta orang menderita depresi dan angka penderita depresi telah naik lebih dari 18 persen sejak 2005. Hal ini yang kemudian memotivasi WHO untuk menjalankan kampanye “Depression: Let’s Talk”.
“Let’s Talk!” Ayo bicara, ayo ngobrol, ayo berbagi! Walau terkesan sederhana, aktivitas bicara, ngobrol, berbagi sungguh menjadi solusi terbaik untuk meminimalisir bahaya depresi. Untuk mendukung hal tersebut, yang mungkin diperlukan adalah menumbuhkan kembali budaya untuk melakukan aktivitas sehat bersama.
Bermain bersama di setiap keluarga mungkin adalah salah satu bentuk implementasi terbaiknya. Dalam konteks ini Eko percaya game, khususnya board game, bisa menjadi sebuah media yang tepat untuk mendukung hal tersebut. Bayangkan jika setiap minggu, 1-2 jam saja, setiap keluarga menyempatkan diri untuk bermain bersama dan merasakan apa yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Mungkin itu akan menjadi ruang terbaik untuk kita saling menjaga, untuk bisa saling ngobrol dan bicara, untuk bisa saling berbagi sepenuh hati. Ketika ini terwujud, kita mungkin tidak perlu lagi terlalu khawatir akan bahaya depresi.
Sumber: Kumparan.com