Pantaskah “Menculik” Anak untuk Jadi Atlet E-Sports? [Keluarga Bermain]
- HeadlineOpini
- September 30, 2019
- 312
- 7 minutes read
Seorang kenalan pernah bercerita pada saya dengan bangganya tentang seorang anak, remaja tanggung, yang sangat hebat dalam bermain game digital yang dikompetisikan alias e-sports.
“Anak ini, masih SMP, tapi jago banget. Cuma, anaknya tinggal di [di sini ia menyebut nama sebuah kota kecil di Jawa Timur],” kata orang yang tak perlu saya sebutkan namanya di sini.
Anak itu sebegitu potensialnya sehingga sebuah tim e-sports di Jakarta, kata kenalan saya ini, berminat merekrutnya. Dibujuklah anak itu untuk bergabung, bahkan hingga didatangi ke rumahnya.
Orangtua anak itu, mohon maaf, bukan dari kalangan berada. Awalnya, cerita kenalan saya itu, orang tua anak itu menolak mentah-mentah.
“Ya, bayangin aja, anaknya mau diajak ke Jakarta. Terus sekolahnya gimana? Hidupnya siapa yang jamin?” begitu kata kenalan saya mengulangi kata-kata orang tua tersebut.
Namun, ia melanjutkan, akhirnya anak itu diboyong ke Jakarta. Setelah melalui proses bujuk-rayu yang tidak sebentar.
Apa yang jadi iming-iming sehingga orang tua anak itu akhirnya mau? Pada akhirnya adalah uang.
“Begitu kita bisa tunjukkan ke orang tuanya, anak itu bisa mendapatkan uang dari bermain game, hidupnya di sini terjamin, dia dikasih makan dan lain sebagainya, ya orangtuanya diam,” kata kenalan saya.
Mungkin saya ada salah mengingat cerita tersebut. Mungkin ada detil yang tidak ia ceritakan. Tapi, satu hal yang pasti, saya sungguh merasa takut saat mendengar cerita itu.
Saya teringat cerita itu setelah membaca tulisan Mas Eko Nugroho “Saatnya Orang Tua dan Guru Paham E-sport“:
Terlepas apapun, anda dan anak anda adalah yang paling tahu apakah sebuah aktivitas memberikan dampak positif atau negatif. Namun untuk benar-benar mengetahui hal tersebut, butuh komunikasi yang baik. Oleh karena itu, jaga selalu budaya komunikasi yang baik di tengah keluarga. Jangan pernah ragu memberikan masukan pada anak kita, tapi jangan juga lupa untuk sungguh-sungguh mendengarkan mereka.
Dalam kasus yang saya ceritakan tadi, saya jadi bertanya-tanya: Apa iya orang tua anak itu sudah paham betul soal dampak positif dan negatif aktivitas anaknya? Apa layak anak itu, meski sudah menjelang usia dewasa, dipisahkan dari orangtuanya?
Dan, kalau sudah terpisahkan seperti itu, bagaimana orangtua anak itu bisa menjalin komunikasi untuk memastikan dampak-dampak seperti yang disebutkan Mas Eko?
Betul, industri e-sports sedang maju dan mulai diterima sebagai cabang olahraga di kompetisi internasional. Bahkan, sampai anak Presiden pun mau gabung ke sebuah tim e-sports!
Tapi apakah “demi e-Sports” lantas kita melupakan hal-hal yang mendasar? Apakah segala cara jadi boleh dilakukan?
Sekali lagi, saya mungkin salah mengingat cerita itu. Bisa jadi ada hal-hal yang tidak diceritakan juga oleh kenalan saya itu. Semoga saja, cerita ini tidak seburuk yang ada di benak saya.
Board Game-nya Mana Mas?
Karena tulisan ini akan terbit di Boardgame.id, dan sesuai nama situsnya yang membahas tentang board game, maka tidak mungkin saya tidak memasukkan soal board game di sini.
Atau lebih tepatnya, saya berusaha menulis ini tanpa menyebut board game sama sekali dan tulisan tersebut akhirnya ditolak (atau, bahasa halusnya: perlu direvisi).
Baiklah, mari kita lihat apakah di dunia board game juga terjadi hal yang sama. Mungkinkah sebuah kompetisi board game sedemikian “penting” sehingga menimbulkan kasus seperti yang terjadi pada anak usia tanggung dalam kisah kenalan saya tadi?
Tak perlu jauh-jauh melihatnya. Permainan di atas papan yang paling bergengsi sedunia adalah catur. Ya, “cabang olahraga” yang memuncak popularitasnya di masa perang dingin Rusia vs Amerika Serikat ini sejatinya adalah sebuah board game.
Legenda catur Bobby Fischer, misalnya sudah bermain board game itu sejak usia remaja. Demikian juga banyak juara catur lainnya, terutama di masa-masa perang dingin.
Latihan yang keras yang dialami Fischer, ataupun atlet lainnya, dianggap wajar karena anak-anak tersebut nantinya akan muncul menjadi patriot pembela bangsa dalam kompetisi internasional.
Dalam hal ini, saya jadi sedikit memahami kenapa kenalan saya itu merasa wajar-wajar saja “menculik” (atau, lebih tepatnya, membujuk) seorang anak untuk digembleng menjadi calon juara e-sports masa depan.
Kalau di board game saja boleh, kenapa di e-sports tidak boleh?
Wicak Hidayat adalah seorang penulis yang tinggal di Depok dan getol memperhatikan tema-tema seputar teknologi, entrepreneurship dan ekonomi kreatif. Ia menulis dalam seri Keluarga Bermain dari sudut pandang seorang ayah yang kerap lelah tapi selalu berusaha semaksimal mungkin.
Ikuti terus Kolom Keluarga Bermain di Boardgame.id. Jika Anda punya komentar atau pendapat seputar topik yang sedang kami diskusikan, tuliskan melalui fitur komentar di bawah ini.