Tentang Anak yang Muak dengan Kompetisi Gara-gara Ambisi Ayahnya [Keluarga Bermain]
- HeadlineOpini
- October 11, 2019
- 286
- 6 minutes read
Siapa sih orang tua yang tidak bangga saat anaknya menang kompetisi? Saya merasakan hal itu beberapa waktu lalu ketika anak saya memenangkan sebuah kompetisi berhadiah beasiswa. Saking bangganya saya sampai merasa harus memamerkan hal itu di social media.
Tapi di kala lain, anak saya tidak menang. Meski masuk ke final atau berakhir di urutan dua, vonis akhirnya tetap sama: tidak juara. Hal ini, harus saya akui, tidak saya sampaikan di social media.
Belum lama ini, saya dapat cerita tentang seorang Ibu. Ia membelikan hadiah pada anaknya, tapi bukannya disambut dengan gembira, anak itu marah besar lalu nangis tersedu-sedu.
Apa sebabnya? Hadiah itu adalah sebuah buku kumpulan soal-soal ujian.
Tentu saja maksud Ibu itu baik. Seperti kebanyakan orang tua, ia ingin anaknya mendapatkan hasil terbaik, jadi juara dalam kompetisi kecil yang kita kenal sebagai ujian sekolah.
Tapi, dalam upaya mendapatkan hasil terbaik itu, apakah kita sebagai orang tua pernah berusaha melihat dari sudut pandang sang anak?
Bisa jadi hadiah itu jadi tambahan beban di pundak sang anak. Beban yang membuat sang anak muak, setelah ratusan atau ribuan beban lainnya yang ditimpakan, sadar atau tidak sadar, padanya.
Mulai dari komentar sederhana seperti โAyah ingin kamu jadi juara kelasโ atau hardikan โKenapa sih kamu nggak belajar? Nanti nilai ujiannya jelek lho!โ Mulai dari mendesak anak untuk punya nilai bagus pada rapor akhir tahun hingga, mungkin, mendaftarkan sang anak pada berbagai les, kursus dan bimbingan belajar.
Lalu, apa kita tidak boleh punya ekspektasi atau ambisi? Apa anak lantas harus dibiarkan begitu saja?
Tentu saja tidak. Setiap orang tua punya caranya masing-masing untuk mengasuh dan mendidik anak. Saya yang masih berantakan ini tidak punya tips, apalagi petuah, untuk mengatur-atur itu.
Hanya, sebagai seorang Ayah, saya merasa sedih ketika mendengar kisah anak-anak yang didesak hingga ambang batasnya demi memenuhi ambisi orang tuanya.
Mas Eko Nugroho menyarankan pada saya, untuk belajar soal kompetisi, anak bisa diajak bermain. Misalnya, saat bermain board game, anak bisa merasakan serunya bermain sekaligus mencicipi asyiknya menang.
Tapi, katanya, janganlah orang tua kemudian mengalah hanya demi anaknya menang. Biarkan anak berusaha dan tetaplah bermain dengan sungguh-sungguh alias always play to win.
Kenapa board game bisa jadi media yang cocok untuk menumbuhkan semangat berkompetisi? Salah satunya karena untuk bermain board game hanya butuh waktu singkat dan –umumnya– tidak butuh prasyarat teknis yang berlebihan.
Lalu, bagaimana orang tua bisa bersikap?
Ingatkan mereka, bukan menang kalah yang utama. Mendapatkan kesempatan untuk belajar dari atlet-atlet lain yang hebat, berkompetisi secara sehat, serta berproses menjadi individu yang selalu rendah hati dan kuat adalah hadiah terbesar yang bisa didapat. (Baca: Hadiah Terbesar Dari Sebuah eSport)
Eko Nugroho
Sudah menjalaninya selama 13 tahun lebih, dan saya masih berantakan dalam hal menjadi orang tua. Mungkin, selamanya akan berantakan dan harus terus belajar.
Satu hal yang saya coba lakukan adalah menjaga ambisi dan ekspektasi pada anak. Jangan sampai, akibat ambisi berlebihan, anak jadi muak lalu berhenti melakukan sesuatu yang sesungguhnya ia sukai.
Ikuti terus Kolom Keluarga Bermain di Boardgame.id. Anda punya cerita seru soal keluarga dan board game? Hubungi saya melalui Instagram @wicakhidayat.
Wicak Hidayat adalah seorang penulis yang tinggal di Depok dan getol memperhatikan tema-tema seputar teknologi, entrepreneurship dan ekonomi kreatif. Ia menulis dalam seri Keluarga Bermain dari sudut pandang seorang ayah yang kerap lelah tapi selalu berusaha semaksimal mungkin.